Leave a comment

November Rain: hujan, luapan dan banjir

Curah hujan di Cimahi beberapa minggu terakhir ini memang bisa dibilang cukup tinggi, pagi, siang, sore dan malam selalu diiringi dengan hujan lebat, luapan air dan tidak jarang berujung banjir. Kelurahan Melong Cimahi Selatan merupakan daerah terparah yang terendam banjir, yang saya tahu terutama di desa Rengas, khususnya untuk musim hujan tahun ini (Nopember 2012). Jumlah rumah yang mengalami kerusakan karena banjir yang melanda berbagai kawasan di Cimahi sekitar 24 rumah dengan kerugian diperkirakan mencapai 2.5 milyar, bukan jumlah yang sedikit.

Pertanyaannya, kenapa?

Menyalahkan curah hujan tentu saja tidak masuk akal. Hujan sudah punya agenda turun ke bumi sejak jutaan tahun yang lalu, bahkan sejak kita–manusia belum ada.

Tanggul yang jebol dianggap menjadi pemicu utama terendamnya jalan-jalan dan rumah-rumah di Cimahi, tetapi kondisi drainase (pengairan) yang tidak layak juga memang juga menjadi sebab meluasnya banjir di Cimahi.

Lagi-lagi, pertanyaannya, kenapa?

Bukankah setiap tahun kita melihat perbaikan/peninggian jalan, sehingga ketinggian jalan hari ini banyak yang melebihi rumah? Nah, justru ini, semakin jalan ditambah ketinggiannya, semakin rumah-rumah lebih mudah terkena banjir. Lalu, apakah pemerintah, para pengembang, dan para insinyur tidak tahu hal ini? Rasanya agak aneh kalau sampai orang-orang pintar ini tidak tahu apa yang mereka kerjakan.

Persoalan lain, sementara jalan-jalan diperbaiki, jarang sekali kita melihat juga perbaikan drainase. Selain itu, kawasan Cimahi selatan yang merupakan dataran terendah di Kota Cimahi juga justru menjadi pusat kawasan industri Cimahi, yang dengan demikian semakin minimnya lahan hijau yang dapat menjadi daerah serapan air. Sementara pabrik-pabrik terus bertambah, pusat-pusat perdagangan tumbuh hingga ke berbagai pelosok, lahan hijau yang bisa menjadi penahan dan serapan justru semakin berkurang.

Bagi masyarakat pemilik tanah, melihat tanahnya tidak produktif memang menjadi persoalan tersendiri. Dia sudah tidak bisa lagi bertani karena kondisi pencemaran air yang terlalu parah, membuka usaha lain tanpa modal dan keterampilan juga bukan perkara mudah, maka menjualnya untuk pembeli manapun yang akan menggunakannya untuk keperluan apapun tentu merupakan jalan keluar termudah.

Bagi para pemilik modal, banjir dan berbagai persoalan lingkungan lainnya selama tidak mengganggu usahanya tentu bukan persoalan, dan meski kita bisa mempertanyakan tanggungjawab sosialnya, tapi logika kapital memang berbicara lain. Pertanyaannya kemudian, dimana peran pemerintah?

Bukankah setidaknya, pemerintah bisa mengalokasikan beberapa tempat di kawasan rawan banjir sebagai lahan serapan? Membelinya dari masyarakat, lalu menjadikannya sebagai kawasan hijau. Sambil terus membenahi drainase seiring pertumbuhan kota. Anggaran? Sebagai kawasan industri yang menjadi penyumbang nilai tambah bruto terbesar terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat, menjadikan anggaran sebagai alasan untuk tidak segera membenahi pengairan dan penghijauan di Cimahi rasanya terlalu mengada-ada.

Pada akhirnya, peran aktif masyarakat untuk mengambil tindakan sekecil apapun dalam menjaga dan membenahi lingkungannya tentu tetap yang paling utama.

Leave a comment