Leave a comment

Pendidikan itu penting (?)

“Kalo lu gak berpendidikan, lu ga akan tau kalo pendidikan itu gak penting. Makanya pendidikan itu penting,” ujar Muluk kepada Samsul, temannya yang meski seorang sarjana pendidikan, tetapi merasa tidak yakin kalau pendidikan itu penting, karena ternyata hasil pendidikannya selama ini tidak bisa memberinya pekerjaan yang sesuai tanpa harus mengeluarkan “uang” lagi.

Dialog tadi saya temukan dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini), sebuah film komedi (satir) besutan Deddy Mizwar yang dibintangi juga oleh Reza Rahadian sebagai muluk, sarjana ekonomi yang tidak juga mendapatkan pekerjaan sesuai bidang pendidikannya.

Perdebatan penting atau tidaknya pendidikan juga terjadi antara Pak Makbul (Deddy Mizwar) ayah Muluk dengan Haji Sarbini (Jaja Mihardja) calon mertuanya. Pak Makbul bercermin pada kemajuan banyak negara yang ditopang pendidikan, sedangkan Haji Sarbini melihat realita Muluk salah satu dari banyak sarjana yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, sedangkan banyak orang yang meski menurutnya tidak “berpendidikan tinggi” tapi tetap bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha seperti anak dan menantunya. Sebuah realitas dan ironi yang mungkin juga sama-sama kita lihat.

Jadi, pendidikan itu …?

Mengikuti dialog-dialog dalam film tersebut, saya jadi teringat dengan obrolan saya sendiri dengan salah satu warga belajar di PKBM dan temannya, keduanya sama-sama tamatan SMP dan sudah bekerja di salah satu pabrik di Cimahi. Saat itu Dewi (warga belajar tadi) sedang daftar ujian paket C, waktu saya tanya temannya kenapa tidak ikut daftar sekalian, dia cuma menjawab, “ga ah, sayang uangnya.” Kegiatan belajar Paket C di PKBM kami memang dibiayai secara swadaya oleh warga belajar dan para pengelola sendiri, karena entah kenapa PKBM kami selalu luput dari anggaran pemerintah.

Waktu temannya Dewi tadi menjawab seperti itu, saya sebetulnya sudah bilang, kalau biaya tidak usah terlalu dipikirkan, karena selain nilai iuran yang terbilang sangat kecil dibanding biaya yang biasanya dikenakan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal, pada prakteknya pembayarannya bersifat sukarela dan tidak mengikat, alias, seringkali warga akhirnya tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya pendidikannya dengan berbagai sebab dan alasan.

Pada akhirnya saya cuma bisa mengatakan sama temannya Dewi tadi, “sayang aja… ijazah pendidikan yang lebih tinggi memang tidak memberikan jaminan apapun, tapi bisa membuka peluang dan kesempatan yang lebih banyak.” Setidaknya, itu yang masih saya anggap mungkin bernilai dari selembar ijazah yang menjadi bukti lulusnya seseorang melalui proses pendidikan. Toh, itu juga yang biasanya dianggap penting oleh masyarakat pada umumnya dari sebuah proses pendidikan. Anggapan tadi bukan hanya berlaku di kalangan masyarakat awam, tetapi juga para ahli dan praktisi pendidikan, para ekonom, pelaku dunia usaha, dan bahkan pengambil kebijakan, ketika pendidikan diposisikan terutama sebagai investasi ekonomi, dan lembaga-lembaga pendidikan terutama berfungsi sebagai pabrik tenaga kerja. Tanpa disadari, realitas memaksa saya terseret juga dalam paradigma mainstream tadi.

Paradigma pragmatis yang terbukti gagal membuktikan validitas asumsinya, toh kalangan dunia usaha tetap menganggap kegagalan lembaga pendidikan sebagai penyebab terserapnya tenaga kerja atau industrialisasi pada umumnya. Dalam perspektif yang lebih luas, Roem Tomatipasang dengan jelas menggambarkannya dalam “Sekolah itu Candu,” ketika masyarakat tetap kecanduan dengan lembaga pendidikan yang bernama sekolah meski telah terbukti gagal tidak hanya dalam (meminjam istilah Pak Habibie) me-link and match-kan pendidikan dengan lapangan kerja secara pragmatis, tetapi lebih jauh lagi, gagal juga dalam mengemban tugas emansipasi dan liberasi manusia yang menjadi para pelakunya. Faktanya, kita bisa melihat betapa banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur, dan betapa banyak orang berpendidikan tinggi yang dengan pengetahuan dan jabatannya justru hanya berhasil menjadi pencopet berdasi. Realitas yang disajikan oleh film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) melalui satir yang jenaka.

Film tadi juga tidak berakhir happy ending, membuat pertanyaan yang sejak awal diajukan dalam film tadi mengenai apakah pendidikan itu memang benar penting atau tidak tetap tidak terjawab. Pertama, karena bukan tugas film itu untuk menjawabnya. Ke-dua, karena toh realitas yang kita hadapi memang masih menyisakan banyak tanda tanya mengenai sejauh mana efektivitas dunia pendidikan agar kita bisa menganggapnya benar-benar penting.

Perdebatan Pak Makbul dan Haji Sarbini mengenai apakah pendidikan itu ‘penting’ atau ‘tidak’ menggunakan frame yang sama, pendidikan = sekolah. Haji Sarbini membuktikan, bahwa meski anak dan menantunya cuma lulusan sekolah menengah, tapi tetap bisa memajukan usaha mereka, karena itu Haji Sarbini mengatakan kalau pendidikan itu tidak penting, yang dia maksud sebetulnya, “sekolah itu tidak penting.” Bagaimanapun, bahwa anak dan menantunya bisa memajukan usaha mereka, membuktikan jika mereka terdidik dalam praktek dunia usaha. Frame tadi merupakan salah kaprah yang umum, menganggap ‘pendidikan = sekolah’, dan dengan demikian menganggap ‘bersekolah = berpendidikan’, atau sebaliknya ‘tidak bersekolah = tidak berpendidikan’. Tulisan saya ini pun dari awal menggunakan istilah pendidikan dalam kesalahan frame yang sama.

Ok, jadi, apakah sekolah itu penting?

Saya tidak pernah punya jawaban yang pasti untuk yang satu ini. Film tadi ataupun Roem juga rasanya tidak memberikan jawaban yang cukup tegas atas pertanyaan ini. Jawaban yang cukup lugas justru saya dapatkan dari Dewi, buruh pabrik lulusan SMP yang saya ceritakan di awal tadi suatu waktu berkata, “kalau saya sih pak, karena saya datang dari kampung, enggak kenal internet dan banyak hal lainnya, tapi sekarang saya kerja di sini, dan di sini orang punya facebook, dan bicara tentang banyak hal yang saya tidak tahu, karena itu saya ingin tahu, makanya saya ikut paket C.”

Sederhana, dan mungkin juga terkesan lugu. Tapi buat saya, memang apalagi harusnya fungsi sekolah atau pendidikan?

Film tadi dan Roem, tidak terkecuali saya, pada awalnya berangkat dari asumsi dasar yang tidak jauh berbeda, bahwa sekolah dan pendidikan seharusnya bisa menjadi solusi bagi hampir semua tantangan hidup yang mungkin dihadapi peserta didik. Ketika harapan tadi bertemu dengan kenyataan yang berbicara sebaliknya, film tadi menjawab melalui sedikit lelucon Muluk, “Kalo lu gak berpendidikan, lu ga akan tau kalo pendidikan itu gak penting. Makanya pendidikan itu penting.” Atau yang dengan ringkas diwakili oleh judul buku yang ditulis oleh Roem Tomatipasang, “Sekolah itu candu.” Baik film tadi, Roem, maupun saya, sama-sama cenderung membebankan seluruh harapan pada lembaga dan kegiatan pendidikan, sementara mengesampingkan bahwa banyak persoalan yang sebetulnya juga menyangkut kebijakan ekonomi, politik, tata dunia global, dsb.

Peran pendidikan sebagai wahana pengkajian dan pengembangan pengetahuan menjadi terabaikan, perluasan wawasan melalui kegiatan pembelajaran cenderung terlupakan. Sesuatu yang masih disadari Dewi ketika dia memilih untuk ikut dalam kegiatan belajar kami sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran diri atas lingkungannya, meski disampaikan melalui ungkapan sederhana.

Leave a comment