Leave a comment

Apa itu pendidikan?

Pendidikan, yang berasal dari kata dasar ‘didik‘, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.” Pengertian yang terperinci bisa kita dapatkan pada Yahoo Encyclopedia yang menjelaskan pendidikan sebagai “setiap proses, baik formal maupun informal, yang membentuk potensi untuk mendewasakan organisme. Pendidikan informal dihasilkan dari efek konstan lingkungan, dan memperkuat pembentukan nilai serta kebiasaan yang tidak bisa disepelekan. Pendidikan formal adalah usaha sadar masyarakat manusia untuk memberi keterampilan dan model berpikir yang dianggap esensial untuk fungsi sosial. Teknik instruksi seringkali merefleksikan sikap masyarakat tersebut, misalnya, kelompok-kelompok otoriter biasanya mendukung metode-metode dogmatik, sementara sistem demokrasi lebih menekankan kebebasan berpikir.

Dua pengertian ini menjelaskan pendidikan dalam pengertian umumnya, meski tidak jarang istilah ini juga difahami dan dijelaskan dalam pengertian yang lebih sempit, yakni kegiatan yang berada di dalam ruang lingkup sekolah. Kata yang sama bisa digunakan juga dalam pengertian yang tidak jauh berbeda atau sepadan dengan istilah ‘pedagogy’ yang pada umumnya diterjemahkan sebagai ‘ilmu pendidikan’. Encyclopedia Britannica misalnya saja menjelaskan pendidikan sebagai “disiplin yang berhubungan dengan metode pengajaran dan pembelajaran di sekolah atau lingkungan semacam sekolah sebagai lawan dari beragam sarana sosialisasi nonformal dan informal (misalnya, proyek-proyek pembangunan pedesaan dan pendidikan melalui hubungan orang-tua anak). Pendidikan dapat dimaksud sebagai transmisi nilai dan himpunan pengetahuan masyarakat. Dalam pengertian ini, pendidikan equivalent dengan apa yang diistilahkan oleh para ilmuwan sosial sebagai pemasyarakatan (sosialisasi) atau pembudayaan (enkulturasi).”

Jawaban atas pertanyaan apa itu pendidikan bisa jadi memang beragam. Tidak hanya pada perbedaan cara menjelaskan, tetapi juga pada pengertian dasar, fokus utama, dan tujuan pendidikan itu sendiri.

John Dewey, seorang filosof pragmatis Amerika menjelaskan pendidikan sebagai sesuatu yang “lahir melalui perangsangan (stimulasi) daya anak oleh situasi-situasi sosial dimana dia menemukan dirinya. Melalui tuntutan-tuntutan ini dia dirangsang untuk bertindak sebagai anggota sebuah kesatuan, untuk bangkit dari kesempitan tindakan dan perasaan aslinya serta memahami dirinya sendiri dari sudut pandang kelompoknya. Melalui respon orang lain terhadap aktivitasnya dia menjadi mengetahui apa artinya dalam hubungan sosial. Nilai-nilai yang dimilikinya direfleksikan kembali kepada mereka. Misalnya, melalui respon atas ocehan instinktif bayi, anak tersebut menjadi tahu bahwa ocehannya berarti; ocehan-ocehan tersebut bertransformasi menjadi bahasa yang diartikulasikan sehingga anak diperkenalkan kepada himpunan kekayaan gagasan dan emosi yang saat ini sudah berpuncak pada bahasa.”

Jika John Dewey memberi tekanan besar pada aspek pengadaptasian anak pada tuntutan dan tatanan sosial yang ada dengan asumsi bahwa tuntutan dan tatanan sosial tersebut dibangun bersama oleh individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya, sehingga setiap anggota memiliki peluang dan kemampuan yang sama untuk mempengaruhi perkembangan dan kemajuan masyarakat, dengan demikian tuntutan dan tatanan sosial yang ada merupakan hasrat dan keinginan bersama, maka pendapat lain melihat sisi lain dari realitas sosial sehingga melahirkan padangan atas pengertian dan tujuan pendidikan yang berbeda pula.

Paulo Freire, seorang penggiat pendidikan informal dan pendidikan kerakyatan yang dianggap salah satu pemikir pendidikan yang berpengaruh di abad 20, sebaliknya memandang bahwa realitas sosial menunjukkan adanya proses dehumanisasi oleh para penindas (kolonialis-imperialis, penguasa tiran, kaum kapitalis, tuan tanah, rentenir, dsb) melalui ketidakadilan, eksploitasi, penindasan dan kekerasan mereka terhadap kaum tertindas (bangsa yang dijajah, rakyat miskin, buruh industri, buruh tani, dsb). Terjadinya penindasan ini melahirkan perjuangan akan kebebasan dan keadilan yang dilakukan oleh kaum tertindas untuk memulihkan kemanusiaan mereka yang hilang.

Menurut Freire, pedagogy “semula berawal dengan kepentingan-kepentingan kaum penindas (suatu egoisme berjubah kedermawanan palsu paternalisme) dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek humanitarianismenya, dalam dirinya mempertahankan dan  mewujudkan penindasan. Pedagogy semacam ini merupakan instrumen dehumanisasi.” Karena itu, jawaban atas pedagogy yang menjadi instrumen penindasan tadi adalah pedagogy kaum tertindas (pedagogy of the oppressed). Lebih lanjut Freire menjelaskan, “pedagogy kaum tertindas, sebagai pedagogy humanis dan libertarian, memiliki dua tahap yang berbeda. Pada tahap pertama kaum tertindas menyingkap–dunia penindasan melalui praxis yang menjadikan diri mereka sendiri ke dalam transformasinya. Pada tahap ke-dua, di mana realitas penindasan telah tertransformasikan, pedagogy ini tidak lagi hanya dimiliki oleh kaum tertindas dan menjadi pedagogy bagi semua masyarakat dalam proses pembebasan yang permanen.”

Demikian, para ahli atau praktisi pendidikan bisa jadi memiliki pengertian dan penjelasan yang berbeda mengenai pendidikan, hal ini tampaknya memang mewakili perbedaan pandangan hidup ataupun pemahaman atas realitas masing-masing. Perbedaan pandangan hidup ini pula yang tampaknya diwakili oleh keragaman pengertian dan tuntutan atas pendidikan yang ada pada masyarakat pada umumnya, sebagian menganggap pentingnya fokus pendidikan terutama pada terpenuhinya tuntutan dan tatanan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang ada, tanpa ada pertanyaan siapa yang sesungguhnya mendominasi tuntutan dan tatanan tersebut. Sebagian lagi secara kritis mempertanyakan kembali untuk siapa penyesuaian tuntutan dan tatanan itu mesti dipenuhi, apakah benar untuk kepentingan para peserta didik itu sendiri dan masyarakat luas, atau semata-mata demi tersedianya tenaga kerja terampil dan konsumen untuk keuntungan segelintir orang yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik? Karena itu bagi kelompok masyarakat yang disebut terakhir ini, arti penting pendidikan bukanlah terutama pada penyiapan dan pelatihan peserta didik agar sesuai dengan tuntutan dan tatanan yang ada, tapi lebih pada terbangunnya kesadaran, pembebasan, keadilan dan emansipasi kemanusiaan.

Rujukan dan bacaan terkait:

Dewey, John. (1897) ‘My Pedagogic Creed’, John Dewey – American Pragmatist, http://dewey.pragmatism.org/creed.htm. Diakses pada 21 Oktober 2012

Freire, Paulo. (1993) ‘Pedagogy of The Oppressed’, Webster University, http://www2.webster.edu/~corbetre/philosophy/education/freire/freire-1.html. Diakses pada 21 Oktober 2012.

Gibson, Richard. (1994) ‘The Promethean Literacy: Paulo Freire’s Pedagogy of Reading, Praxis and Liberation’, Rich Gibson’s Home Page for a Democratic Society, http://www-rohan.sdsu.edu/~rgibson/freirall.htm. Diakses pada 21 Oktober 2012.

Gorder, Chris Van. (2008) ‘Paulo Freire’s Pedagogy for the Children of the Oppressors:  Educating for Social Justice among the World’s Privileged’, The Journal of Pedagogy Pluralism & Practice – Issue 13, http://www.lesley.edu/journals/jppp/13/PDF/VanGorderPDF.pdf. Diakses pada 21 Oktober 2012.

Leave a comment