Leave a comment

Pendidikan Nonformal

Secara historis, pendidikan dalam arti luas telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada di muka bumi. Sampai dengan tahun 1970-an, konsep pendidikan yang banyak diajarkan di lembaga pendidikan guru adalah: “bantuan pendidik untuk membuat peserta didik dewasa”. Artinya: kegiatan pendidik berhenti (tidak diperlukan lagi) apabila kedewasaan yang dimaksud, yaitu ke-mampuan untuk menetapkan pilihan/keputusan serta mempertanggung jawabkan perbuatannya secara mandiri telah tercapai. Secara operasional, konsep tersebut diterjemahkan sedemikian rupa sehingga pendidikan bermakna persekolahan (sistem pendidikan formal).

Menurut Coombs, pendapat yang lebih luas muncul pada awal tahun 1970-an dan diterima secara luas, pendidikan disamakan dengan belajar, tanpa memperhatikan di mana, bagaimana, atau pada usia berapa belajar itu terjadi. Pendidikan sebagai life-long process dari seseorang sejak dilahirkan hingga akhir hayatnya .

Latar Belakang

Pendapat Coombs di atas terkait dengan berkembangnya konsep pendidikan norformal di kalangan akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan tidak hanya di negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Terkait hal ini, Fordham (1993) mengungkapkan bahwa perkembangan wacana akan kebutuhan model alternatif ini lahir dari perhatian dan keprihatinan akan ketidak sesuaian kurikulum; realisasi pertumbuhan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang tidak sejalan, dan bahwa pekerjaan tidak muncul secara langsung sebagai hasil input pendidikan. Banyak negara mengalami kesulitan (secara politis maupun ekonomis) untuk membiayai pengembangan pendidikan formal.

Kesimpulannya adalah sistem pendidikan formal terlalu lambat beradaptasi dengan perubahan sosio-ekonomi di sekitar mereka dan mundur tidak hanya karena konservatismenya sendiri, tetapi juga karena kelemahan masyarakatnya. Jika kita juga menerima bahwa pembuatan kebijakan pendidikan cenderung mengikuti daripada memimpin tren-tren sosial lainnya, dengan demikian perubahan juga akan datang tidak semata-mata dari lingkungan persekolahan formal, tetapi juga dari masyarakat yang lebih luas dan sektor-sektor lain di dalamnya. Dari titik tolak inilah para perencana dan ekonom World Bank mulai merumuskan perbedaan antara pendidikan informal, non-formal dan formal. (Fordham 1993: 2)

Pengertian dan Perbedaan Model Pendidikan Informal, Formal dan Nonformal

Pendidikan informal, adalah proses sepanjang hayat (lifelong process) yang dengannya setiap orang mendapatkan dan menghimpun pengetahuan, keterampilan dan pandangan dari pengalaman sehari-hari dan terbuka kepada lingkungan di rumah, di pekerjaan, di permainan; dari contoh dan sikap keluarga dan teman; dari perjalanan, membaca koran dan buku; atau dengan mendengarkan radio atau melihat televisi. Secara umum, pendidikan informal tidak terorganisir dan seringkali tidak sistematis; tetapi proses ini merupakan keseluruhan pembelajaran seumur hidup bagi setiap orang–termasuk orang yang “bersekolah” tinggi.

Pendidikan formal, tentu saja merupakan “sistem pendidikan” yang sangat terlembagakan, bertingkat secara kronologis dan terstruktur secara hirarkis, mulai dari pendidikan dasar rendah dan lebih tinggi lagi sampai universitas.

Pendidikan nonformal, adalah setiap aktivitas terorganisir, sistematik, dan mendidik yang dilakukan di luar kerangka sistem formal untuk menyediakan tipe-tipe pembelajaran tertentu bagi sub-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, baik dewasa maupun anak-anak. Dengan demikian terdefinisikan juga bahwa pendidikan nonformal mencakup, misalnya, program-program perluasan agrikulturan dan pelatihan pertanian, program kesetaraan bagi orang dewasa, pelatihan keterampilan kerja di luar sistem formal, klub-klub pemuda dengan tujuan pendidikan subtansial, dan beragam program komunitas seperti pengarahan kesehatan, nutrisi, perencanaan keluarga, koperasi, dan sebagainya.

Terdapat persamaan dan perbedaan yang penting antara pendidikan formal dan nonformal yang ada hari ini. Hal-hal tersebut telah dikelompokkan dan diperbanyak untuk meningkatkan proses pembelajaran informa–dengan kata lain, untuk mempromosikan dan memfasilitasi tipe-tipe pembelajaran tertentu (seperti membaca dan menulis) yang tidak tersedia atau secara cepat didapatkan individu-individu itu melalui interaksi biasa dengan lingkungan mereka. Dua model pendidikan ini kadang terlihat serupa dalam bentuk dan metode pedagogis-nya.

Penjelasan Coombs di atas merupakan bagian dari laporan penelitian yang dibiayai oleh World Bank, yang jika merujuk pada keterangan Duncan S. Ballantine, Direktur Departemen Pendidikan Worl Bank, dalam pendahuluan laporan tadi, kajian utama dan bahan-bahan pendukung penelitian tersebut sangat berguna baik bagi pembangunan kebijakan formulasi proyek-proyek World Bank lebih lanjut, maupun pemerintah-pemerintah di negara berkembang.

Pendidikan Nonformal di Indonesia

Pendidikan Nonformal dalam pengertiannya yang luas tentu saja telah berkembang di negeri ini jauh sebelum negara ini sendiri lahir, bahkan jauh sebelum model pendidikan formal dikenal. Tapi dalam pengertian yang lebih khusus sebagaimana diuraikan oleh Coombs di atas, model pendidikan nonformal diperkenalkan sebagai pendamping model pendidikan formal tampaknya telah dimulai sejak masa awal kemerdekaan, yaitu dengan dibentuknya Departemen Pendidikan Masyarakat pada 1 Juni 1946, yang diberi tugas untuk: pemberantasan buta huruf, pembinaan kursus pengetahuan umur, serta pembinaan perpustakaan rakyat. Lembaga itu berada di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&K). Perkembangan selanjutnya, penyelenggaraan pendidikan nonformal dijalankan melalui jawatan atau badan pelaksana yang fokus utamanya terutama pada pendidikan keaksaraan (pemberantasan buta huruf).

Saat ini, penyelenggaraan pendidikan nonformal berada di bawah tanggungjawab Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI), yang merupakan perkembangan dari Ditjen PLSPO yang diatur melalui Kepres Nomor 45 tahun 1974. Kebetulan, tahun yang sama dengan dipublikasikannya laporan penelitian Coombs untuk World Bank.

Program-program pendidikan nonformal yang telah diselenggarakan saat ini, diantaranya program kesetaraan, PAUD, Keaksaraan Fungsional, program pasca melek aksara, yaitu program yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung) dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Program mata pencaharian, yaitu program yang diarahkan untuk meningkatkan ketrampilan bekerja secara berkelompok melalui Kelompok Belajar Usaha, juga ada program peningkatan kualitas hidup, yang termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pendidikan ketrampilan hidup (life skills) yang diutamakan bagi mereka yang masih belum memiliki pekerjaan agar bisa membuka lapangan kerja secara mandiri. Berbagai kegiatan ini menjadi diharapkan menjadi alternatif solusi dari keterbatasan yang dimiliki pendidikan formal.

Namun demikian, besarnya harapan atas penyelenggaraan pendidikan nonformal bukan tanpa kritik. Evaluasi mengenai kelemahan penyelenggaraan pendidikan nonformal muncul terutama terkait dengan kurangnya koordinasi, kelangkaan pendidik profesional, dan motivasi belajar yang relatif rendah. Masih terkait dengan kelemahan penyelenggaraan pendidikan nonformal ini, kritik yang lebih tajam juga menyoroti motivasi pendirian banyak PKBM (sebagai salah satu penyelenggara pendidikan nonformal), rendahnya kepemilikan komunitas, dan rendahnya relevansi program dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Dwi Joko Widiyanto, penulis dan salah seorang penggiat pendidikan informal di Bandung, sebagai berikut,

Beberapa Temuan dan Analisis

1. Booming PKBM

Studi ini menemukan 60,24% berdiri pada tahun 1999-2001.  Apakah ini suatu kebetulan? Tampaknya tidak. Tahun 1999-2001 adalah kurun waktu dimana gagasan dan kebijakan tentang broad based education mulai disosialisasikan oleh Depdiknas. Pada tahun-tahun ini juga Depdiknas mensosialisasikan adanya bantuan block grant bagi lembaga-lembaga pendidikan nonformal utamanya PKBM.

Jadi motivasi pendirian PKBM patut diduga kuat bukan didasari oleh pertimbangan kebutuhan atau kesadaran para pemrakarsanya akan perluasan hak-hak pendidikan masyarakat. Melainkan lebih sebagai respon untuk bagaimana membuat wadah untuk menampung kucuran dana itu. Yang penting ada wadah dulu, bagaimana praktek pendidikan akan dijalankan itu soal yang lain lagi.

2. Rendahnya Kepemilikan Komunitas

PKBM didominasi oleh pegawai negeri. Orang-orang yang pekerjaan utamanya menjadi tenaga lapangan dikmas, penilik, dan guru mendominasi kepengurusan baik di tingkat ketua (53,68 %) maupun sekretaris (56,5 %) PKBM.

Yang juga menarik adalah ada sejumlah profesi rangkap. Guru yang notabene sudah mendapatkan gaji dari pekerjaan mengajarnya di sekolah  formal ikut terlibat dalam kepengurusan PKBM (21,73 % pada posisi ketua, dan 27,53 pada posisi sekretaris).

Apa artinya? Artinya, menguatkan temuan pertama, pendirian PKBM patut diduga kuat diprakarsai oleh orang-orang yang mempunyai akses informasi cukup besar terhadap kebijakan-kebijakan baru pendidikan, termasuk didalamnya tatacara mengakses block grant dan semacam itu. Atau sekurang-kurangnya informasi tentang hal ini lebih banyak tersebar di lingkaran terbatas, yaitu “orang-orang dalam” Depdiknas.

Gejala ini diperkuat dengan siapa yang mengelola atau bentuk organisasi PKBM. Sebanyak 56,5 % PKBM dikelola oleh Yayasan -yang notabene bentuk organisasi yang kepemilikannya berada di tangan segelintir orang. Di luar itu juga menunjukkan sebagian besar PKBM masih berbasis kelembagaan, belum berbasis masyarakat.

3. Rendahnya Relevansi program dengan Kebutuhan masyarakat

Program-program PKBM umumnya adalah “program-program paket” yang sudah distandardisasi, seperti Keaksaraan Fungsional, Paket A, Paket B, Paket C, Beasiswa, Kejar Usaha dan lain-lain serupa itu. Program-program ini memang program yang disarankan untuk dilakukan oleh PKBM jika ingin mengakses dana subsidi BBM.

Cukup banyak juga materi-materi belajar tentang keterampilan. Tetapi hampir semuanya jenis-jenis keterampilan yang berorientasi teknis-produktif. Dan, semua program, baik paket maupun keterampilan tersebut jauh sekali hubungannya dengan potensi desa/daerah yang 76,8 % merupakan desa/daerah pertanian.

Selain evaluasi dan kritik pada teknis penyelenggaraan tersebut di atas. Evaluasi yang lebih mendasar juga muncul terkait kucuran utang World Bank (dan lembaga-lembaga serupa seperti IMF dan WTO) dalam perencanaan dan pembiayaan program-program pendidikan nonformal yang diselenggarakan saat ini, yang ironisnya justru akan semakin menekan masyarakat dalam jurang kemiskinan dan ketergantungan, suatu keadaan yang sejatinya ingin diubah melalui pendidikan non-formal.

Evaluasi dan kritik di atas tentunya harus menjadi cermin dan pemicu semangat untuk terus berbenah bagi setiap penggiat pendidikan, tidak hanya mereka yang bergerak di ranah pendidikan nonformal, tetapi juga mereka yang terlibat dalam ruang pendidikan formal, maupun informal.

 

Rujukan dan bacaan terkait:
Dr. Achmad Dardiri, ‘Ilmu Pendidikan’, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Prof.%20Dr.%20Achmad%20Dardiri,%20M.Hum./handout%20-%20ILMU%20PENDIDIKAN.pdf
Mark K Smith (1996), ‘Non-Formal Education’, The Encyclopedia of Informal Education, http://www.infed.org/biblio/b-nonfor.htm. Diakses 22 Oktober 2012.
P.H. Coombs (1974), ‘Attacking Rural Poverty: How Nonformal Education Can Help’, World Bank Research Publication.
Pendidikan SMP masa 1960, http://www2.ilmci.com/?p=1228
Profil Direktorat PPTK PAUD NI (2006), http://jugaguru.com/. Diakses 22 Oktober 2012
Musfi Yendra, S.Ip. (2009), ‘Pendidikan Non Formal Sebagai Alternatif’, Padang Today, http://padang-today.com/feed?mod=artikel&today=detil&id=345. Diakses 22 Oktober 2012
Admin Imadiklus (2011), ‘Kelemahan Pendidikan Nonformal’, Imadiklus, http://www.imadiklus.com/2011/07/kelemahan-pendidikan-nonformal.html. Diakses 22 Oktober 2012
Dwi Joko Widiyanto (2008), ‘Potret Buram Pendidikan Nonformal di Jabar’, http://dwijoko.wordpress.com/2008/07/07/potret-buram-pendidikan-nonformal-di-jabar/. Diakses 22 Oktober 2012
Mark K. Smith (2001), ‘Informal and Non-formal Education, Colonialism and Development’, the encyclopedia of informal education, http://www.infed.org/biblio/colonialism.htm. Diakses 22 Oktober 2012
Yuyun Harmono (2007), ‘Pendidikan dalam Pusaran Neoliberalisme’, Orange Revolution, http://harmono.multiply.com/journal/item/13. Diakses 22 Oktober 2012

Leave a comment