Leave a comment

Prestasi Bukan Cuma Milik Ranking 1

Dunia kerja bukan hanya milik lulusan sekolah.

 

“Nggak sekolah juga bisa,” ujar teman saya sambil tersenyum waktu dia menceritakan pekerjaan di pabrik tempatnya bekerja. Malah, sambungnya lagi, salah seorang pekerja yang dianggap cukup senior di pabriknya cuma lulusan SD.

Asumsi sebagian pihak mengenai mismatching dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia industri yang digunakan sebagai alasan kegagalan mereka dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan buruh memang cukup menggelikan, apalagi ketika saya ingat obrolan dengan seorang teman tadi.

Tanpa perlu penelitian, untuk mereka yang tinggal di sekitar pabrik, akan tahu jika lowongan untuk posisi manajer jauh lebih sedikit dibanding lowongan operator mesin jahit atau posisi-posisi lainnya di pabrik. Kita pun tahu jika terlalu banyak posisi di pabrik yang keterampilannya tidak diajarkan di bangku sekolah, tetapi langsung di tempat saat kita mulai bekerja. Jadi, terkadang, kebanyakan yang diajarkan di bangku sekolah sebetulnya tidak punya banyak relevansi dengan tugas teknis kita di pekerjaan. Karena itu tidak heran jika kebutuhan akan ijazah pada prakteknya lebih sering untuk memenuhi tuntutan formalitas saja, formalitas kelulusan dan syarat formal yang sering diminta perusahaan pada saat penerimaan lowongan kerja, meskipun pada dasarnya mereka tahu kalau banyak dari mata pelajaran yang mereka minta ijazahnya itu tidak terlalu berhubungan dengan tugas teknis pekerjaan yang mereka tawarkan.

Bagi mereka yang belum memiliki kemampuan dan kesempatan untuk membangun usaha sendiri, kejujuran dan keterampilan saja kadang memang tidak cukup, ijazah seringkali menjadi syarat pertama agar kita bisa membuktikan kemampuan kita. Tapi meskipun mungkin kita tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bisa bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan formal, berbagai program pendidikan nonformal seperti program kesetaraan bisa dimanfaatkan.

Anda mungkin akan mengatakan, “Ah, itu kan lowongan kerja rendahan.”

Pertama, tidak ada yang namanya pekerjaan yang rendah, kecuali: menipu, mencuri, dan korupsi. Ke-dua, banyak tokoh, terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu, mereka tidak berhenti mengubah dunia hanya karena jeblok nilai raport-nya atau bahkan sampai putus sekolah sekalipun. Prestasi mereka diukir bukan dengan ijazah, tetapi dengan dedikasi dan kepercayaan diri. Banyak orang bekerja dan menjadi ahli di bidang yang berbeda dengan latar belakang pendidikan formalnya, atau tanpa latar belakang pendidikan formal apapun. Tanpa saya perlu memberi contoh pun, ketika kita melihat ke sekeliling, keluarga, tetangga, teman, dan banyak orang yang ada di sekitar kita, ternyata bekerja dan menjadi ahli di bidang yang tidak mereka pelajari di bangku sekolah.

Jauh sebelum ITB berdiri, nenek-moyang kita sudah mampu membangun candi Borobudur dengan konstruksi dan teknologi yang belum tergantikan sampai saat ini. Jauh sebelum IPB melahirkan insinyur-insinyur pertanian, masyarakat kita sudah bisa menerapkan teknologi subak yang mampu meningkatkan produksi pertanian tanpa mengganggu kelestarian alam.

 

Kadang memang sering terjadi kesalahfahaman dan kekaburan antara tidak sekolah, dengan tidak belajar atau tidak berpendidikan, sehingga tidak sedikit orang yang tidak sekolah akhirnya memang benar-benar membatasi dirinya untuk terus mengembangkan wawasan, potensi dan keahliannya. Tidak heran jika muncul anggapan kalau orang yang tidak sekolah itu tidak berpendidikan.

Banyak diantara kita yang tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan di lembaga-lembaga formal, bisa jadi karena keterbatasan biaya, keterbatasan waktu, ataupun berbagai keterbatasan dan sebab lainnya. Tetapi hal itu tidak harus menjadi alasan terhentinya proses belajar dan pendidikan. Berbagai program pendidikan nonformal (melalui PKBM dan lainnya) ditujukan untuk mengatasi berbagai keterbatasan tadi, kegiatannya (harus) dirancang secara fleksibel baik dalam konteks pola, waktu, maupun tempat pembelajarannya, agar semua orang tetap dapat mempelajari berbagai pengetahuan serta keterampilan pokok sebagai bekal untuk kehidupan sehari-hari dan masa depannya meski dengan berbagai keterbatasan.

Keterbatasan anggaran yang dimiliki penyelenggara pendidikan nonformal pun tidak harus menjadi alasan terhentinya kegiatan, karena kemauan untuk terus berbagi dan belajar lah yang sebetulnya harus menjadi modal utama. Diskursus hari ini tidak lagi mesti berbicara tentang tarik menarik antara idealisme dengan pragmatisme pendidikan. Jika ijazah memang dapat memberi peluang lebih besar dalam membuka berbagai pintu kesempatan, maka mendapatkan ijazah melalui program kesetaraan bukan lah hal yang sulit. Jika karena berbagai alasan untuk sekedar mengikuti program kesetaraan pun tetap tidak bisa juga, selama kita masih mau terus belajar dan mengembangkan diri, maka selama itu juga pintu kesempatan akan terbuka untuk kita. Dunia tak selebar daun kelor, jika pintu pabrik dan perkantoran tertutup hanya karena terganjal ijazah, ingatlah kehidupan tidak hanya ada di balik tembok pabrik dan pagar perkantoran.

 

Ketika kamu mulai berpikir untuk mengakhiri hidup hanya karena putus sekolah atau gagal ujian, ingatlah bahwa Thomas Alfa Edison si penemu sepanjang masa cuma sempat 3 bulan di bangku sekolah. Ingatlah, jalan kita masih panjang.

 

Bacaan terkait:

http://www.youblisher.com/p/288737-22-tokoh-otodidak-sejati/

http://debuku.com/tanpa-sekolah-tapi-sukses.htm

http://irengputih.com/10-tokoh-indonesia-yang-sukses-tanpa-ijazah-formal/343/

Leave a comment