Leave a comment

Homeschooling

Homeschooling, makhluk apakah itu?

Pada dasarnya homeschooling merupakan kegiatan belajar yang dilakukan di rumah, disebut juga home education (pendidikan rumah) atau home based learning (pembelajaran berbasis rumah). Karena itu, berbeda dengan model pendidikan formal yang menjadikan lembaga dan ruang sekolah sebagai pusat dan penyelenggara utama kegiatan pembelajarannya, homeschooling menempatkan rumah sebagai pusat kegiatan belajar, dengan demikian menekankan tanggungjawab serta peran aktif keluarga dalam kegiatan pembelajaran.

Meski mungkin jarang terdengar dan tampak baru, sebagaimana pada umumnya model pendidikan nonformal dan informal, homeschooling sebetulnya merupakan model pendidikan yang telah berjalan sejak manusia mengenal gagasan mengenai ‘rumah’ itu sendiri, jauh sebelum masyarakat manusia mengenal lembaga pendidikan yang bernama sekolah, kegiatan pendidikan telah berjalan dengan rumah dan lingkungan sebagai ruang belajarnya.

Kenapa kembali ke pendidikan rumah?

Ketidakpuasan atas praktek dan hasil pendidikan oleh sekolah yang dianggap terlalu membebani siswa dengan kegiatan dan muatan belajar yang terlalu berat, terlalu berorientasi pada nilai rapor dan cenderung mengabaikan pengembangan kepribadian serta potensi individual anak merupakan diantara faktor utama kembali maraknya gagasan dan praktek homeschooling.

Wacana dan praktek homeschooling mulai marak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebelumnya, pada tahun 1960-an, John Cadlwell Holt, seorang guru serta pengamat anak dan pendidikan di Amerika Serikat, menyatakan bahwa “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya.” Holt juga mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pernyataan Holt ini memicu perdebatan luas mengenai sistem dan pendidikan sekolah.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007)

Pandangan dan penelitian tadi kemudian melatarbelakangi menguatnya wacana dan praktek homeschooling di Amerika Serikat, disusul Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, hingga sampai ke negara-negara Asia, tidak terkecuali Indonesia.

Antara homeschooling dan flexi-schooling

Di Indonesia, penyelenggaraan homeschooling ternyata tidak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi juga oleh beberapa lembaga pendidikan. Pada satu sisi, kondisi ini memang memudahkan orang tua yang ingin menyelenggarakan homeschooling bagi putera-puterinya tetapi tidak memiliki kesempatan ataupun kemampuan, bisa jadi karena kesibukan ataupun tidak tahu harus mulai darimana, dan sebagainya. Hanya saja, penyelenggaraan homeschooling oleh lembaga pendidikan yang cenderung terstruktur dengan ruang kelas sebagai tempat belajarnya tentunya menjadi kerancuan dan menegasikan konsep dasar homeschooling itu sendiri, yang berangkat dari gagasan untuk mengembalikan pusat pendidikan ke rumah dengan peran aktif keluarga dalam proses pembelajarannya.

Penyelenggaraan pembelajaran oleh lembaga pendidikan di luar model sekolah formal sebetulnya memiliki istilah lain yang lebih tepat. Di Inggris misalnya disebut dengan flexi-schooling, yang kegiatan belajarnya memang lebih fleksibel daripada di sekolah formal dan memberi ruang lebih besar bagi peran rumah dan keluarga dalam proses pembelajarannya.

Ijazah untuk homeschooling

Meski gagasan awal homeschooling sebetulnya berangkat dari kritik dan ketidakpuasan atas sistem pendidikan formal yang diwakili sekolah, unsur legalitas dan ijazah memang tetap menjadi perhatian para praktisinya, dan hal ini memang bukan merupakan persoalan, karena kegiatan homeschooling ataupun flexi-schooling dilindungi undang-undang, yaitu UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27, yang menyatakan:

Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Dalam hal ini, Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20/23, pasal 27 ayat (2).

Karena itu, selain kegiatannya itu sendiri sah menurut undang-undang, peserta homeschooling juga berhak untuk mendapatkan ijazah kesetaraan sebagaimana mereka yang mengikuti pendidikan formal, yaitu dengan mengikuti ujian negara yang diselenggarakan oleh Depdiknas. Bagi yang tidak tergabung kelompok ataupun lembaga penyelenggara homeschooling, dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat).

Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling

HOMESCHOOLING: SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF

School, Homeschool, Flexi-School

LEGALITAS HOMESCHOOLING DI INDONESIA

Leave a comment